SUDUT
PANDANG DALAM CERITA; PEMBELAJARAN
Oleh Ardyan Amroellah
Apa yang anda lihat dan rasakan ketika
menonton sepak bola? Sebagai penonton, perasaan anda jelas berbeda dengan apa
yang dilihat dan dirasa oleh si pemain yang timnya menang atau malah si pemain
yang timnya kalah. Akibat dari kejadian itupun akan berbeda bagi anda, si
pemain yang menang, dan si pemain yang kalah. Oleh sebab itu sudut pandang
adalah krusial dalam mempengaruhi penyajian cerita dan alurnya. Sudut pandang
(point of view) sendiri memiliki pengertian sebagai cara penulis menempatkan
dirinya di dalam cerita. Secara mudah, sudut pandang adalah teknik yang dipilih
penulis untuk menyampaikan ceritanya. Berikut ini macam–macamnya:
1. Sudut
Pandang Orang Pertama Tunggal.
Penulis sebagai pelaku
sekaligus narator yang menggunakan kata ganti “aku’.
A. “Aku” sebagai tokoh utama.
Penulis adalah “aku ”sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan dirinya sendiri, tindakan, dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan “aku” sebagai narator sekaligus pusat cerita.
Contoh:
Seorang lelaki tua memanggilku sepuluh menit lalu di ruang pribadinya di lantai paling atas pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia duduk pongah di kursi busa berukir khas jepara dibalik meja. Senyumnya mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai dihadapnya, sambil melirik buku yang tadi dibantingnya. Gagasan, itu tulisan di sudut kanan atas sampul depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja disebelah buku itu, tulisan cerlang bereja Rektor pongah menatapku. Kulengoskan kepala keluar jendela, sementara mulutnya terus mengumpat. Soal buku itu, tentu juga soal aku. (Rektor Itu Ayahmu, Sayang? – Ardyan Amroellah)
Catatan:
A. “Aku” sebagai tokoh utama.
Penulis adalah “aku ”sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan dirinya sendiri, tindakan, dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan “aku” sebagai narator sekaligus pusat cerita.
Contoh:
Seorang lelaki tua memanggilku sepuluh menit lalu di ruang pribadinya di lantai paling atas pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia duduk pongah di kursi busa berukir khas jepara dibalik meja. Senyumnya mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai dihadapnya, sambil melirik buku yang tadi dibantingnya. Gagasan, itu tulisan di sudut kanan atas sampul depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja disebelah buku itu, tulisan cerlang bereja Rektor pongah menatapku. Kulengoskan kepala keluar jendela, sementara mulutnya terus mengumpat. Soal buku itu, tentu juga soal aku. (Rektor Itu Ayahmu, Sayang? – Ardyan Amroellah)
Catatan:
·
Tokoh “aku” tak mungkin
mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh lain kecuali dengan perkiraan.
·
Penulis harus memahami
tokoh “aku” sesuai karakternya. Misalnya soal bahasa, perlu dilihat
apakah “aku” adalah orang tua atau anak muda. Itu akan mempengaruhi gaya bahasa
yang diucapkan.
·
Mengenali dengan baik
karakter “aku” adalah keharusan..
B.
“Aku” sebagai tokoh bukan utama.
Penulis adalah “aku ” dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan “aku” hanya sebagai saksi/kawan tokoh utama. “Aku” adalah narator yang menceritakan kisah yang dialami tokoh lain yang menjadi tokoh utama.
Contoh:
Aku sudah mengetahui wajahnya sejak lama, sejak sekitar dua tahun lalu. Seminggu sekali dia datang ke salon itu, selalu. Aku kerap tertawa saat ingat kali pertama aku melihatnya. Lusuh, kusam, dekil, sama sekali tak berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam kotoran dan ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali. Dan rupanya dia tahu bagaimana cara memelihara diri. Terbukti, tak ada tanda kekusaman yang muncul. Aih, aku jadi iri. (Mimpimu Apa? – Ardyan Amroellah)
Catatan:
Penulis adalah “aku ” dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan “aku” hanya sebagai saksi/kawan tokoh utama. “Aku” adalah narator yang menceritakan kisah yang dialami tokoh lain yang menjadi tokoh utama.
Contoh:
Aku sudah mengetahui wajahnya sejak lama, sejak sekitar dua tahun lalu. Seminggu sekali dia datang ke salon itu, selalu. Aku kerap tertawa saat ingat kali pertama aku melihatnya. Lusuh, kusam, dekil, sama sekali tak berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam kotoran dan ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali. Dan rupanya dia tahu bagaimana cara memelihara diri. Terbukti, tak ada tanda kekusaman yang muncul. Aih, aku jadi iri. (Mimpimu Apa? – Ardyan Amroellah)
Catatan:
·
Teknik ini hampir
mirip dengan Sudut Pandang Orang Ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat
sebagai tokoh.
·
“Aku” hanya
mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. “Aku” bisa mengungkap apa yang
dirasakan atau dipikirkan tokoh utama, tapi hanya berupa dugaan dan kemungkinan
berdasar apa yang “aku” amati dari tokoh utama.
2.
Sudut Pandang Orang Pertama Jamak
Ini mirip dengan Sudut Pandang Orang Pertama
Tunggal, hanya saja menggunakan kata ganti “kami”. Narator menjadi seseorang
dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok orang.
Contoh:
Siang itu kami berkerumun di teras masjid, membahas isu hangat yang merebak di pondok. Secara beruntun, barang-barang kami hilang. Mi instan, uang, buku, hingga celana dalam. Hal terakhir itu sangat keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami habis. Percayalah, hanya sarung yang kami pakai saat ini. (Ronaldo Dari Brazil – Anin Mashud)
Contoh:
Siang itu kami berkerumun di teras masjid, membahas isu hangat yang merebak di pondok. Secara beruntun, barang-barang kami hilang. Mi instan, uang, buku, hingga celana dalam. Hal terakhir itu sangat keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami habis. Percayalah, hanya sarung yang kami pakai saat ini. (Ronaldo Dari Brazil – Anin Mashud)
3.
Sudut Pandang Orang Kedua
Penulis adalah narator yang sedang berbicara
kepada kata ganti “kamu” dan menggambarkan apa yang dilakukan “kamu” atau “kau”
atau “anda”.
Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi sejak tiga sejam lalu, kau sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, sampai riasan di wajahmu. Lalu setelah kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final yang kau rasa akan memesona teman-teman barumu di kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di belakang telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik berikutnya, kau melewati udara beraroma lili dan lavender itu, berharap supaya wanginya menempel di rambut dan blazer barumu. (Novel The Girls’ Guide to Hunting and Fishing – Melissa Bank)
Catatan;
Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi sejak tiga sejam lalu, kau sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, sampai riasan di wajahmu. Lalu setelah kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final yang kau rasa akan memesona teman-teman barumu di kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di belakang telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik berikutnya, kau melewati udara beraroma lili dan lavender itu, berharap supaya wanginya menempel di rambut dan blazer barumu. (Novel The Girls’ Guide to Hunting and Fishing – Melissa Bank)
Catatan;
·
Pembaca diperlakukan
sebagai pelaku utama sehingga membuatnya menjadi merasa dekat dengan cerita
karena seolah menjadi tokoh utama
·
Penulis harus
konsisten tak menyebut “aku” untuk berbicara dengan tokoh utama.
4.
Sudut Pandang Orang Ketiga Tunggal.
Penulis ada di luar
cerita tak terlibat dalam cerita. Penulis juga menampilkan para tokoh dengan
menyebut namanya atau kata ganti “dia”.
A.
Sudut Pandang Orang Ketiga Mahatahu.
Penulis seperti Tuhan dalam karyanya, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Contoh:
“Ibrahim?!”
“Ya, Ibrahim. Seperti itulah tugasnya setelah dipanggil pulang…”
Jawaban itu tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan saat si guide bertudung memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip, secepat itu Ranju menjumpai pantai di matanya. Dan itu membuat Ranju mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya masih penuh logika. Meski Ranju ingat, dia tadi berjalan diatas air, dia tadi menghirup susu di parit kecil pinggir jalan, dia tadi menatap wanita–wanita elok yang menyapa genit. Ranju bermain–main di pikiran sampai–sampai si guide bertudun menyentak lengannya. Ranju terpaku diluar pagar sebuah rumah kecil serupa rumah keluarga Amerika kelas menengah. (Lelaki Di Tengah Lapangan – Ardyan Amroellah)
Penulis seperti Tuhan dalam karyanya, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Contoh:
“Ibrahim?!”
“Ya, Ibrahim. Seperti itulah tugasnya setelah dipanggil pulang…”
Jawaban itu tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan saat si guide bertudung memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip, secepat itu Ranju menjumpai pantai di matanya. Dan itu membuat Ranju mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya masih penuh logika. Meski Ranju ingat, dia tadi berjalan diatas air, dia tadi menghirup susu di parit kecil pinggir jalan, dia tadi menatap wanita–wanita elok yang menyapa genit. Ranju bermain–main di pikiran sampai–sampai si guide bertudun menyentak lengannya. Ranju terpaku diluar pagar sebuah rumah kecil serupa rumah keluarga Amerika kelas menengah. (Lelaki Di Tengah Lapangan – Ardyan Amroellah)
B. Sudut
Pandang Orang Ketiga Terbatas.
Penulis melukiskan segala apa yang dialami tokoh hanya terbatas pada satu orang atau dalam jumlah yang sangat terbatas. Penulis tak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.
Contoh:
Selalu ada cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Dia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet tak putus acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga – Kurnia Effendi)
Penulis melukiskan segala apa yang dialami tokoh hanya terbatas pada satu orang atau dalam jumlah yang sangat terbatas. Penulis tak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.
Contoh:
Selalu ada cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Dia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet tak putus acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga – Kurnia Effendi)
C.
Sudut Pandang Orang Ketiga Objektif
Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita. Penulis hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Contoh:
Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan mengeluarkan pundi kulit dari kantung, membayar minuman dan meninggalkan persenan setengah peseta. Si pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar. Seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.
“Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan lain. Mereka berdua menurunkan semua tirai. “Belum jam setengah dua.” lanjutnya.
“Aku ingin cepat pulang dan tidur.” (Tempat yang Bersih Terang – Ernst Hemingway)
Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita. Penulis hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Contoh:
Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan mengeluarkan pundi kulit dari kantung, membayar minuman dan meninggalkan persenan setengah peseta. Si pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar. Seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.
“Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan lain. Mereka berdua menurunkan semua tirai. “Belum jam setengah dua.” lanjutnya.
“Aku ingin cepat pulang dan tidur.” (Tempat yang Bersih Terang – Ernst Hemingway)
5.
Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak
Penulis menuturkan cerita berdasarkan persepsi
atau kacamata kolektif. Penulis akan menyebut para tokohnya dengan menggunakan
kata ganti orang ketiga jamak; “mereka”.
Contoh:
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan beberapa anak lelaki dari kelompok pemuda. Dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas meja. (Ibu – Natalia Ginzburg)
Contoh:
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan beberapa anak lelaki dari kelompok pemuda. Dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas meja. (Ibu – Natalia Ginzburg)
6.
Sudut Pandang Campuran
Penulis menempatkan dirinya bergantian dari
satu tokoh ke tokoh lainnya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. “aku”,
“kamu”, “kami”, “mereka”, dan atau “dia”.
Catatan:
Catatan:
·
Biasanya teknik ini
dipakai dalam cerita yang membutuhkan halaman banyak.
·
Perlu ketelitian dalam
setiap fragmen saat penulis mengubah sudut pandang.
SUDUT PANDANG ORANG
KEDUA: PENJELASAN KHUSUS
Dibandingkan unsur–unsur pembentuk cerita
lainnya, penulis–penulis Indonesia cenderung lambat dalam mengeksperimen dan
membarui penggunaan sudut pandang dalam penerapannya pada karya. Selama ini
secara umum kita hanya mengenal dua macam sudut pandang, yaitu Sudut Pandang
Orang Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sama sekali tak ada teori dan
penggunaan Sudut Pandang Orang Kedua. Mengapa seperti itu? Jawaban semua
penulis rata–rata sama. Sulit.
Sebagai gambaran singkat. Misalnya seseorang
yang bernama Andi, bercerita kepada temannya, Budi. Ada dua kemungkinan: Andi
menceritakan dirinya dengan berkata, “Pagi ini aku berangkat pagi.” Dalam hal
ini, Andi menggunakan sudut pandang orang pertama (aku). Kemungkinan kedua,
Andi menceritakan orang lain. Misalnya dengan, “Tadi siang dia makan siang.” Di
sini, Andi menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia).
MUNGKINKAH ANDI
BERCERITA KEPADA BUDI TENTANG BUDI?
Dalam keadaan normal, kejadian semacam ini
mustahil terjadi sebab apa yang dialami Budi tentunya Budi sendiri yang lebih
tahu. Hal itu seperti mengharapkan dalang bercerita soal Arjuna kepada Arjuna
yang menontonnya. Jelas Arjuna lebih tahu kisah dirinya sendiri dibanding
dalang. Itu jika normal. Jika tak normal apakah bisa? Dan bagaimana praktiknya
jika bisa?
Kembali ke pengandaian diatas. Jawabannya
adalah bisa saja ketika Arjuna kehilangan informasi tentang dirinya atau
kejadian yang dialaminya, karena mungkin dia pingsan atau tidur, lalu Arjuna
minta keterangan dalang sehingga dalang akan menginformasikan, “Waktu tidur
tadi kau berjalan keluar kamar, tapi matamu meram.” Kondisi terakhir ini dapat
melahirkan sudut pandang orang kedua (kau, kamu) asalkan dalang konsisten tak
menyebut dirinya sebagai “aku”.
Dalam bentuk cerita, pembaca hanya akan
melihat Arjuna yang disapa dengan kata ganti ”kau”, sedangkan dalang tak
terlihat dan dianggap oleh pembaca sebagai penulis cerita. Jika dalang tergoda
untuk memasukkan dirinya ke dalam peristiwa, misalnya dengan menambahkan, “Lalu
aku menepuk pundakmu,” maka sudut pandang berubah menjadi orang pertama. Tetapi
sudut pandang akan tetap orang kedua jika dalang menceritakan dirinya tidak
dengan kata ganti orang pertama, misalnya dengan mengatakan, “Lalu seseorang
menepuk pundakmu.”
Dari pengertian ringkas di atas, dapat dimengerti
jika sudut pandang orang kedua jarang sekali dipraktikkan oleh para penulis.
Tapi bukan berarti tak ada. Coba baca Dadaisme karya Dewi Sartika, Cala Ibi
karya Nukila Amal, dan Kabar Buruk dari Langit buatan Muhiddin M. Dahlan. Meski
sudut pandang orang kedua pada ketiga novel ini tidak utuh atau tidak
sepenuhnya dipakai dalam keseluruhan novel.